Menstruasi dan Dysmenorrhea
Menstruasi dan Dysmenorrhea
A.
Menstruasi
1.
Pengertian Menstruasi
Menstruasi
adalah siklus reproduksi pada wanita. Siklus tersebut sangat kompleks, meliputi
psikologis, panca indera, korteks serebri, hipofisis (ovarial aksis), dan
endrogen (uterus-endometrium, dan alat seks sekunder) (Manuaba, 2009). Menstruasi
ditandai dengan perdarahan periodik sebagai bagian integral dari fungsional
biologis wanita sepanjang siklus kehidupannya, terjadi mulai dari menstruasi
pertama (menarche) sampai pada masa
menopause. Pada wanita biasanya pertama kali mengalami menarche pada umur 12-16 tahun (Kusmiran, 2011).
Proses
terjadinya menstruasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor hormon,
enzim, vaskular, dan prostaglandin.
1. Faktor Hormon
Hormon-hormon
yang mempengaruhi terjadinya menstruasi pada seorang wanita yaitu:
a.
Folicle Stimulating Hormone (FSH)
yang dikeluarkan oleh hipofisis
b.
Estrogen yang dihasilkan oleh ovarium
c.
Luteinzing Hormone (LH) yang
dihasilkan oleh hipofisis
d.
Progesteron yang dihasilkan oleh ovarium.
2. Faktor Enzim
Enzim
hidrolitik yang terdapat dalam endometrium merusak sel yang berperan dalam sintesis protein yang mengganggu
metabolisme sehingga melibatkan regresi endometriun dan perdarahan.
3. Faktor Vaskular
Saat
fase proliferasi, terjadi pembentukan sistem vaskularisasi dalam lapisan
fungsional endometrium. Pada pertumbuhan endometrium, ikut tumbuh pula
arteri-arteri, vena-vena, dan hubungan di antara keduanya. Dengan regresi
endometrium, timbul statis dalam vena-vena serta saluran-saluran yag
menghubungkannya dengan arteri, dan akhirnya terjadi nekrosis dan perdarahan
dengan pembentukan hematoma, baik dari arteri maupun vena.
4. Faktor Prostaglandin
Endometrium
megandung prostaglandin E2 dan F2. Dengan adanya desintegrasi endometrium,
prostaglandin terlepas dan menyebabkan kontraksi miometrium sebagai suatu
faktor untuk membatasi perdarahan pada menstruasi (Kusmiran, 2011).
2.
Siklus Menstruasi
Siklus
menstruasi normal terbagi menjadi empat fase, yaitu fase folikuler, fase
ovulasi, fase luteal, dan fase menstruasi (Rayburn & Carey, 2001). Pengaturan
siklus tersebut ditentukan oleh faktor psikologis dan umpan balik (feedback loop) estrogen dan progesteron.
Long Feedback loop adalah umpan balik
steroid hormon terhadap terhadap hipotalamus dan hipofisis. Short feedback loop langsung ke
hipofisis untuk pengeluaran gonadotropin. Ultrashort
feedback loop adalah pengaturan sendiri releasing
hormone factor (Manuaba, 2009).
Umumnya
siklus menstruasi terjadi secara periodik setiap 28 hari (ada pula setiap 21
dan 30 hari), yaitu pada hari 1-14 terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel
primer yang dirangsang oleh hormon FSH. Pada saat tersebut, sel oosit primer
akan membelah dan menghasilkan ovum yang haploid. Saat folikel berkembang
menjadi folikel de graaf yang masak,
folikel ini juga menghasilkan hormon estrogen yang merangsang keluarnya hormon
LH dari hipofisis. Estrogen yang keluar berfungsi merangsang perbaikan dinding
uterus, yaitu endometrium, yang habis terkelupas saat menstruasi. Selain itu,
estrogen menghambat pembentukan FSH dan memerintahkan hipofisis menghasilkan LH
yang berfungsi merangsang folikel de
graaf yang masak untuk mengadakan ovulasi yang terjadi pada hari ke-14.
Waktu disekitar terjadinya ovulasi disebut fase
estrus (Kusmiran, 2011).
Selain
itu, LH merangsang folikel yang telah kosong untuk berubah menjadi badan kuning
(corpus luteum). Badan kuning
menghasilkan hormon progesteron yang berfungsi mempertebal lapisan endometrium
yang kaya dengan pembuluh darah untuk mempersiapkan datangnya embrio. Periode
ini disebut fase luteal. Selain itu,
progesteron juga berfungsi menghambat pembentukan FSH dan LH, akibatnya korpus
luteum mengecil dan menghilang. Pembentukan progesteron berhenti sehingga
pemberian nutrisi kepada endometrium terhenti. Endometrium menjadi mengering
dan selanjutnya akan terkelupas dan terjadilah perdarahan (menstruasi) pada
hari ke-28. Fase ini disebut fase perdarahan atau fase menstruasi. Oleh karena tidak ada progesteron, maka FSH mulai
terbentuk lagi dan terjadilah proses oogenesis kembali (Kusmiran, 2011).
3.
Gangguan Menstruasi
Dalam
prosesnya, menstruasi juga seringkali mengalami gangguan. Gangguan tersebut
dapat terjadi karena kelainan dari faktor kesehatan alat genitalia dan hormonal
karena menstruasi atau haid merupakan perpaduan antara kesehatan alat genitalia
dan rangsangan hormonal yang kompleks yang berasal dari mata rantai aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium. Gangguan tersebut dapat menimbulkan resiko
patologis apabila dihubungkan dengan banyaknya kehilangan darah, mengganggu
aktivitas sehari-hari, adanya indikasi inkompatibel ovarium pada saat konsepsi,
atau adanya tanda-tanda kanker (Kusmiran, 2011).
Beberapa
bentuk kelainan menstruasi dan siklus menstruasi masa reproduksi aktif antara
lain:
1. Kelainan tentang banyak dan lama perdarahan
a. Hypermenorrhea (jumlah perdarahan lebih
banyak dan dapat disertai gumpalan darah dan lamanya perdarahan lebih dari 8
hari).
b. Hypomenorrhea (jumlah perdarahan lebih
sedikit dan lama perdarahan memendek kurang dari 3 hari).
2. Kelainan siklus menstruasi
a. Polymenorrhea (siklus menstruasi
memendek dari biasa yaitu kurang dari 21 hari, sedangkan jumlah perdarahan
relatif tetap).
b. Olygomenorrhea (siklus menstruasi
memanjang lebih dari 35 hari, sedangkan jumlah perdarahan tetap sama).
c. Amenorrhea (keadaan tidak adanya
menstruasi, dibedakan menjadi amenorrhea
primer bila mencapai umur 18 tahun tidak menstruasi dan amenorrhea sekunder jika pernah menstruasi tapi berhenti 3 bulan
berturut-turut).
3. Perdarahan di luar haid, (metroragia, yaitu perdarahan yang
terjadi di luar haid dengan penyebab kelainan hormonal atau kelainan organ
genitalia).
4. Keadaan
lain berkaitan dengan menstruasi
a. Premenstruasi syndrome/PMS (terjadi
beberapa hari sebelum bahkan saat menstruasi berlangsung meliputi gangguan
emosional, susah tidur, gelisah, sakit kepala, mual, muntah, bisa merasa
depresi)
b. Mastodinia atau Mastalgia (rasa tegang dan nyeri pada payudara menjelang
menstruasi).
c.
Dysmenorrhea
(nyeri pada saat menstruasi) (Manuaba, 2009).
1.
Pengertian Dysmenorrhea
Pada
saat menstruasi, wanita kadang merasa nyeri. Sifat dan tingkat rasa nyeri
bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Kondisi tersebut
dinamakan dysmenorrhea, yaitu keadaan
nyeri yang hebat dan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Dysmenorrhea merupakan suatu fenomena
simptomatik meliputi nyeri abdomen, kram dan sakit punggung. Gejala
gastrointestinal seperti mual dan diare dapat terjadi sebagai gejala dari
menstruasi (Kusmiran, 2011).
Dysmenorrhea adalah menstruasi yang menimbulkan
rasa nyeri. Keadaan ini mengenai 60-70% dari wanita yang mengalami menstruasi,
artinya kebanyakan perempuan mengalami dysmenorrhea
dalam proses menstruasinya (Rayburn & Carey, 2001).
2.
Klasifikasi Dysmenorrhea
Secara klinis, dysmenorrhea dibagi menjadi dua, yaitu dysmenorrhea primer dan dysmenorrhea sekunder.
1. Dysmenorrhea Primer
Dysmenorrhea
primer adalah nyeri menstruasi yang dijumpai tanpa kelainan alat-alat
genital yang nyata. Dysmenorrhea primer
biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menstruasi pertama (menarche), segera setelah siklus ovulasi
teratur ditentukan. Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas
melepaskan prostaglandin. Prostaglandin merangsang otot uterus dan mempengaruhi
pembuluh darah yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan
vasokontriksi pembuluh darah. Vasopressin (suatu hormon yang menyempitkan
pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah, dan mengurangi pengeluaran excretion/air seni) juga memiliki peran
yang sama.
Kadar prostaglandin yang meningkat
ditemukan di cairan endometrium wanita dengan dysmenorrhea dan berhubungan baik dengan derajat nyeri. Peningkatan
endometrial prostaglandin sebanyak tiga kali lipat terjadi dari fase folikuler
menuju fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama
menstruasi. Peningkatan prostaglandin di endometrium yang mengikuti penurunan
progesteron pada akhir fase luteal menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan
kontraksi uterus yang berlebihan.
Leukotriene juga telah diterima ahli untuk mempertinggi
sensitivitas nyeri serabut di uterus. Jumlah leukotriene yang signifikan telah ditunjukkan di endometrium
perempuan penderita dysmenorrhea primer
yang tidak merespons terapi antagonis prostaglandin.
Hormon
pituitari posterior, vasopressin terlibat pada hipersensitivitas miometrium,
mengurangi aliran darah uterus, dan nyeri pada penderita dysmenorrhea primer. Peranan vasopressin di endometrium dapat
berhubungan dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin. Hipotesis neuronal
juga telah direkomendasikan untuk patogenesis dysmenorrhea primer. Neuron nyeri tipe C di stimulasi oleh
metabolik anareob yang diproduksi oleh iskemik endometrium (Anurogo &
Wulandari).
2. Dysmenorrhea sekunder
Dysmenorrhea sekunder
biasanya baru muncul kemudian, yaitu jika ada penyakit atau kelainan yang
menetap seperti infeksi rahim, kista atau polip, tumor sekitar kandungan, serta
kelainan kedudukan rahim yang mengganggu organ dan jaringan di sekitarnya
(Kusmiran, 2011). Massa dalam rongga panggul, uterus yang tidak bisa
digerakkan, ligamentum uterosacralis
yang berbenjol-benjol, atau lendir seviks yang bernanah bisa memberikan
kesan tentang etiologi yang spesifik. Gejala-gejalanya bergantung kepada
penyebab dari dysmenorrhea sekunder
tersebut. Dispareunia, menoragia, dan demam adalah gejala-gejala yang bisa
muncul. Gejala-gejala itu biasanya di mulai pada tahun-tahun usia reproduksi
pertengahan atau lewat (setelah berusia 20 tahun). Pengobatan pada dysmenorrhea diarahkan pada penyebab
dari dysmenorrhea itu sendiri (Rayburn
& Carey, 2001).
Dysmenorrhea sekunder dapat terjadi
kapan saja setelah haid pertama, tetapi yang paling sering muncul di usia 20-30
tahunan, setelah tahun-tahun normal dengan siklus tanpa nyeri. Peningkatan
prostaglandin dapat berperan pada dysmenorrhea
sekunder. Namun, penyakit pelvis yang menyertai haruslah ada. Penyebab yang
umum, diantaranya termasuk endometriosis, adenomyosis,
polip endometrium, chronic pelvic
inflamatory disease, dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IU(C)D (Intrauterine (Contraceptive) Device).
Hampir semua proses apapun yang mempengaruhi pelvic viscera dapat mengakibatkan nyeri pelvis siklik (Anurogo
& Wulandari, 2011).
3. Penyebab Dysmenorrhea
Secara
umum, dysmenorrhea muncul akibat
kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu gejala atau lebih, mulai
dari nyeri yang ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan nyeri
spasmodik di sisi medial paha.
1. Penyebab dysmenorrhea primer
a.
Faktor endokrin
Rendahnya
kadar progesteron pada akhir fase corpus luteum. Hormon progesteron menghambat
atau mencegah kontraktilitas uterus, sedangkan hormon estrogen merangsang
kontraktilitas uterus. Di sisi lain, endometrium dalam fase sekresi memproduksi
prostaglandin F2 sehingga menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika kadar
prostaglandin yang berlebihan memasuki peredaran darah, maka selain dysmenorrhea dapat juga dijumpai efek
lainnya seperti nausea (mual),
muntah, dan diare.
b. Faktor
kejiwaan atau gangguan psikis
Rasa
bersalah, ketakutan seksual, takut hamil, hilangnya tempat berteduh, konflik
dengan masalah jenis kelaminnya, dan imaturitas.
c. Faktor
konstitusi
Anemia
dan penyakit menahun juga dapat mempengaruhi timbulnya dysmenorrhea.
d. Faktor
alergi
Penyebab
alergi adalah toksin haid. Menurut riset, ada hubungan antara dysmenorrhea dengan urtikuria, migrain, dan asma.
2. Penyebab dysmenorrhea sekunder
Beberapa penyebab dysmenorrhea sekunder antara lain:
a. Intrauterine contraceptive devices (alat
kontrasepsi dalam rahim)
b. Adenomyosis (adanya endometrium selain
di rahim)
c. Uterine mioma (tumor jinak rahim yang
terdiri dari jaringan otot), terutama mioma submukosum (bentuk mioma uteri)
d. Uterine polyps (tumor jinak di rahim)
e. Adhesions (pelekatan)
f. Senosis
atau struktur serviks, struktur kanalis servikalis, varikosis velvik, dan
adanya AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)
g. Ovarian cysts (kista ovarium)
h. Ovarian torsion (sel telur terpuntir
atau terpelintir)
i. Pelvic congestion syndrome (gangguan
atau sumbatan di panggul)
j. Uterine leiomyoma (tumor jinak otot
rahim)
k. Mittelschmerz (nyeri saat pertengahan
siklus ovulasi)
l. Psychogenic pain (nyeri psikogenik)
m. Endometriosis pelvis (jaringan
endometrium yang beradadi panggul)
n. Penyakit
radang panggul kronis
o. Tumor
ovarium, polip endometrium
p. Kelainan
letak uterus seperti retrofleksi, hiperantefleksi, dan retrofleksi terfiksasi
q. Faktor
psikis, seperti takut tidak punya anak, konflik dengan pasangan, gangguan
libido.
r. Allen-Masters syndrome (kerusakan
lapisan otot di panggul sehingga pergerakan serviks meningkat abnormal)
(Anurogo & Wulandari, 2011).
4. Manifestasi Klinis Dysmenorrhea
1. Dysmenorrhea primer
Gejala-gejala umum dysmenorrhea primer antara lain sebagai berikut:
a. Malaise (rasa tidak enak badan)
b. Fatigue (lelah)
c. Nausea (Mual) dan vomiting (muntah)
d. Diare
e. Nyeri
punggung bawah
f. Sakit
kepala
g. Kadang-kadang
dapat juga disertai vertigo
h. Gejala
klinis dysmenorrhea primer termasuk
onset segera setelah menarche dan
biasanya berlangsung 48-72 jam, sering mulai beberapa jam sebelum atau sesaat
setelah menstruasi. Selain itu juga terjadi nyeri perut atau nyeri seperti saat
melahirkan dan hal ini sering ditemukan pada pemeriksaan pelvis yang biasa atau
pada rektum.
2. Dysmenorrhea sekunder
Nyeri
dengan pola yang berbeda didapatkan pada dysmenorrhea
sekunder yang terbatas pada onset menstruasi. Nyeri pada dysmenorrhea sekunder berhubungan dengan
penyebab dysmenorrhea sekunder itu
sendiri. Ini biasanya berhubungan dengan perut besar atau kembung, pelvis
terasa berat, dan nyeri punggung. Secara khas, nyeri meningkat secara progresif
selama fase luteal dan akan memuncak sekitar onset menstruasi.
Gambaran umum dysmenorrhea sekunder antara lain:
a. Dysmenorrhea terjadi selama siklus
pertama atau kedua setelah menstruasi pertama.
b. Dysmenorrhea dimulai setelah 25 tahun.
c. Terdapat
ketidaknormalan pelvis dengan pemeriksaan fisik, pertimbangkan kemungkinan
endometriosis, pelvic inflamatory disease,
dan pelvic adhesion.
d. Sedikit
atau tidak ada respons terhadap obat golongan NSAID (nonsteroidal anti-inflamatory drug) kontrasepsi oral, atau keduanya
(Anurogo & Wulandari, 2011).
Tabel
2.2 Perbedaan dysmenorrhea primer dan
dysmenorrhea sekunder
Dysmenorrhea Primer
|
Dysmenorrhea Sekunder
|
Onset
(serangan pertama) secara mendadak setelah menarche.
|
Onset
dapat terjadi di waktu apapun setelah menarche
(Umumnya setelah usia 25 tahun).
|
Nyeri
perut atau panggul bawah biasanya berhubungan dengan onset aliran menstruasi
dan berlangsung selama 8-72 jam.
|
Wanita
dapat mengeluh mengalami perubahan waktu serangan pertama nyeri selama siklus
haid atau dalam intensitas nyeri.
|
Dapat
terjadi nyeri pada paha dan punggung, sakit/nyeri kepala, diare, nausea, dan vomiting
|
Gejala
ginekelogis lainnya dapat terjadi, misalnya nyeri saat bersenggama dan siklus
menstruasi memanjang.
|
Tidak
dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik
|
Ada
kelainan panggul (pelvic) pada
pemeriksaan fisik.
|
Sumber: Anugoro & Wulandari
(2011)
C.
Cara Mengatasi Dysmenorrhea
Banyak
cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan menyembuhkan dysmenorrhea. Cara tersebut dapat dilakukan melalui pencegahan dan
pengobatan.
1. Pencegahan
Langkah
pencegahan dapat dilakukan sendiri oleh penderita dysmenorrhea tanpa memerlukan obat-obatan. Caranya adalah dengan
memperhatikan pola dan siklus menstruasinya. Setelah itu lakukan
langkah-langkah antisipasi agar tidak mengalami dysmenorrhea, antara lain dengan:
1. Hindari
stress
2. Miliki
pola makan yang teratur dengan asupan gizi yang memadai
3. Saat
menjelang menstruasi sebisa mungkin menghindari makanan yang cenderung asam dan
pedas
4. Istirahat
yang cukup
5. Mengkonsumsi
makanan dan minuman yang mengandung kalsium tinggi
6. Olahraga
teratur
7. Melakukan
peregangan (stretching) setidaknya
5-7 hari sebelum menstruasi
8. Menjelang
menstruasi, coba berendam dengan air hangat dengan garam mandi dan beberapa
tetes minyak esensial
9. Jangan
terburu-buru mengkonsumsi obat anti nyeri
10. Hindari
mengkonsumsi alkohol, kopi, rokok, maupun coklat
11. Selama
menstruasi jangan berolahraga atau bekerja berat karena akan memicu kelelahan
12. Suhu
panas, pijatan, aroma terapi, dan musik dapat membantu mengurangi nyeri.
2. Pengobatan
Ada banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mengobati nyeri haid. Berikut beberapa diantaranya:
1. Pengobatan
herbal
Kayu
manis, kedelai, cengkeh, kunyit, jahe, oso dresie, herbal Cina dapat digunakan
untuk mengurangi nyeri dysmenorrhea karena
mengandung zat-zat yang dapat meredakan nyeri seperti asam sinemik, phytoestrogens, asam mefenamat, dan ibuprofen.
2. Penggunaan
suplemen
Minyak
ikan yang mengandung asam lemak omega 3 dan vitamin E dapat megurangi nyeri
pada dysmenorrhea.
3. Perawatan
medis
Perawatan
medis adalah perawatan yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan.
Perawatan ini akan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu diagnosis banding,
pemeriksaan laboratorium, imaging studies, prosedur pemeriksaan lain,
penanganan, dan konsultasi. Tindakan yang dilakukan meliputi diet, pengobatan
dengan antiprostaglandin, kontrasepsi oral, hysterectomy,
olahraga, kompres hangat.
4. Relaksasi
5. Hipnoterapi
6. Akupuntur
(Anurogo & Wulandari, 2011)
D.
Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Dysmenorrhea
Perawat
perlu melakukan pendekatan manajemen nyeri secara sistematis untuk dapat
mengerti dan mengobati nyeri pada klien karena nyeri adalah prioritas masalah
utama pada klien dengan dysmenorrhea.
American Nurses Association (ANA)
(2005) mengatakan bahwa pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam jangkauan
setiap praktik keperawatan (Potter & Perry, 2010).
Asuhan
keperawatan dan manajemen nyeri yang berhasil tergantung dari bagaimana
hubungan saling percaya antara petugas kesehatan, klien, dan keluarga dibangun.
Perawat,
klien, dan keluarga merupakan mitra kerja sama dalam melakukan tindakan untuk
mengontrol nyeri. Perawat memberikan dan memonitor intervensi dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien untuk mengurangi nyeri, perawat juga melakukan
pendekatan manajemen nyeri secara sistematis untuk dapat mengerti dan mengobati
nyeri pada klien.
Proses
keperawatan pada klien dengan dysmenorrhea
meliputi pengkajian, diagnosis, intervensi, implementasi, dan evaluasi (Potter
& Perry, 2010).
1. Pengkajian
Hal-hal
yang perlu dikaji pada klien dengan dysmenorrhea
adala siklus haid dan karakteristik nyeri, meliputi permulaan serangan dan
durasi, lokasi, intensitas, kualitas, dan pola nyeri serta gejala yang
mengikutinya
2. Diagnosis keperawatan
Perawat dapat membuat diagnosis
secara akurat ketika sudah menyelesaikan pengkajian secara menyeluruh.
Identifikasi yang akurat terhadap faktor-faktor yang berhubungan perlu
dilakukan untuk memilih intervensi keperawatan yang tepat (Potter & Perry,
2010). Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan dysmenorrhea adalah:
a. Nyeri
yang berhubungan dengan meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersensitivitas,
dan saraf nyeri uterus.
b. Gangguan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan adanya mual,
muntah.
c. Koping individu tidak efektif yang berhubungan
dengan kelebihan emosional.
3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan untuk
diagnosa keperawatan pada klien dengan dysmenorrhea
adalah:
1. Diagnosis 1: Nyeri yang berhubungan dengan
meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersensitivitas, dan saraf nyeri uterus.
Tujuan:
nyeri klien berkurang dalam waktu 1 x 24 jam.
Intervensi
|
Rasional
|
a. Hangatkan bagian perut, berikan kompres hangat.
b. Masase daerah perut yang terasa nyeri.
c. Lakukan latihan ringan
d. Lakukan teknik relaksasi.
e. Berikan diurestis natural (vitamin), tidur dan
istirahat.
Kolaborasi:
a. Pemberian analgetik (aspirin, fenasetin,
kafein).
b. Terapi diometasin, ibuprofen, naprosen.
|
Dapat menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
mengurangi kontraksi spasmodik uterus.
Mengurangi nyeri karena adanya stimulus sentuhan
terapeutik.
Dapat memperbaiki aliran darah ke uterus dan tonus
otot.
Mengurangi tekanan untuk mendapatkan rileks.
Mengurangi kongesti.
Diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri agar dapat
istirahat.
Biasanya digunakan untuk menormalkan produksi
prostagladin.
|
2. Diagnosis
2: koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kelabilan emosional.
Intervensi
|
Rasional
|
a. Kaji pemahaman klien tentang penyakit yang
dideritanya.
b. Tentukan stress tambahan yang menyertainya.
c. Bantu klien mengidentifikasi keteramplian
koping selama periode berlangsung.
d. Berikan periode tidur atau
istirahat.
e. Dorong keterampilan mengenai stress, misalnya
dengan teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan, imajinasi, dan latihan nafas
dalam.
|
Kecemasan terhadap rasa sakit yang diderita akan
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan.
Stress dapat mengganggu respon saraf otonom,
sehingga dikhawatirkan akan menambah rasa sakit.
Penggunaan perilaku yang efektif dapat membantu
klien beradaptasi dengan rasa sakit yang dialaminya.
Kelelahan karena rasa sakit dan pengeluaran cairan
yang banyak dari tubuh cenderung merupakan masalah berarti yang mesti segera
diatasi.
Dapat mengurangi rasa nyeri dan mengalihkan
perhatian klien terhadap nyeri.
|
4. Implementasi Keperawatan
Imlementasi merupakan tindakan
yang sesuai dengan yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan
kolaborasi. Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis
dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan
bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lain (Mitayani, 2009).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan hasil
perkembangan klien dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak
dicapai (Mitayani, 2009).
0 comments:
Post a Comment